SAHABAT SEGALANYA
Pagi
yang cerah ini, hari pertama masuk kelas 8a terlihat canggung karena aku belum
mengenal satu sama lain. Aku yang bernama Anita Yulianti kini sering dipanggil
‘kecil’ karena fisik ku yang memang bertubuh kecil. Namun setelah lewat
beberapa hari aku sudah mengenal mereka terutama teman ku yang bernama Rafi dan
Arman. Aku rasa mereka cocok banget buat jadi teman baik, karena menurut ku
karakter mereka yang lucu dan terkadang bikin jengkel itu membuat ku tertarik
untuk berteman dengan mereka. Kami selalu bertiga ketika sedang istirahat,
bercanda ria bersama bahkan mereka berdua selalu minta traktir jajan di kantin.
Tidak ketinggalan juga, teman yang paling kocak dan kadang bikin orang bingung
sendiri dengerin omangan dia, namanya Dhani. Kadang kami bertiga juga bercanda
dengan Dhani. Saat istirahat Aku, Rafi, dan Arman bernyanyi di depan kelas.
Suara Rafi yang dibilang sih cukup keren menyanyikan syair lagu pertama.
“Menunggu
sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku saat ku harus bersabar dan trus bersabar
menantikan kehadiran dirimu entah sampai kapan aku harus menunggu sesuatu yang
sangat sulit tuk ku jalani hidup dalam kesendirian sepi tanpa mu kadang ku berpikir
cari penggantimu saat kau jauh di sana,” dilanjutin syair yang ke dua hingga
selesai versi kami bertiga. Ketika lagu yang kami nyanyikan sudah selesai aku
sontak mengatakan ingin menyanyikan kembali bersama meraka.
“Nyanyi
lagi dong, tanggung nih bel belum bunyi,” kata ku ketika mereka mengambil nafas
karena lelah.
“Aduh
capek tau, emang kamu kira nyanyi cuman lima detik gitu?,” sambung Arman sambil
tertawa geli.
“Nggak
asik nih,” jawab ku dengan muka cuek.
“Lanjutin
aja! Kasian tuh, ntar nangis lagi,” kata Rafi yang dari tadi hanya diam. Rafi
dan Arman menertawaan hal itu yang jelas-jelas munurut ku nggak lucu sama
sekali!. Kami pun melanjutkan menyanyi.
Tidak
terasa bel masuk berbunyi, kami masuk kelas dengan nafas ‘ngos-ngosan’ karena
menyanyi tadi. Namun itu membuat ku menjadi mengantuk saat pelajaran terakhir
akan dimulai. Pelajaran matematika, pelajaran yang bikin otak buntu dan nggak
bisa dibayangin betapa sulitnya pelajaran ini. Akhirnya karena capek nyanyi dan
ketawa tadi aku tertidur di atas meja. Ketika menerangkan pak guru tidak tahu
kalau aku sedang tidur, namun gara-gara Rafi pak guru jadi tahu.
“Lho
Cil, kok tidur?,” teriak Rafi dengan santainya. Aku pun terbangun dengan wajah
yang sedikit kusut.
“Hah?,”
jawab ku dengan santai karena aku masih belum tersadar sepenuhnya dari alam
bawah sadar.
“Kok
tidur? Pelajaran nih!,” sahut Arman tiba-tiba. Pak guru yang sedari tadi
memerhatikan hati menggelengkan kepala sambil tertawa pelan.
“Ngantuk
berat , Man,” jawab ku enteng. Arman tidak menjawab sepatah kata pun. Aku tidak
tertidur lagi, hanya memandang papan tulis namun tidak pernah mengerti apa
maksud angka-angka yang ditulis di papan.
Teeeetttt…..teeeettt…..teeeet….teeett,
bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid dari kelas 7 sampai 9 berhamburan
keluar sekolah. Aku yang tidak langsung pulang jalan ke kantin dulu beli
makanan. Kira-kira 15 menit di kantin, aku pulang berdua dengan teman ku yang
bernama Riyan naik mobil pribadi alias ‘angkutan umum’. Kami berpisah di
perempatan Blimbing, karena jarak rumah kami sangat jauh.
Ketika
sampai di rumah, aku ganti baju lalu menyalakan handphone dan akhirnya lagu
yang aku cari kini berputar dengan angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela
kamar ku. Lagu itu, lagu yang membuat ku ingat dengan kisah cinta ku dengan
laki-laki yang selalu perhatian dan menjaga ku meskipun kami jauh. Namun
masalah kecil yang membuat ku terpaksa memutuskannya, tetapi aku mulai sadar
bahwa dialah orang yang tepat buat aku. Dalam hati ku berbicara sendiri.
“Kamu
emang special di hati ku tapi kamu…..,”gerutuku dalam hati. Aku pun tertidur
karena angin sepoi-sepoi tadi.
Jam
16.00 aku terbangun dari tidur ku, rasanya hari ini hari yang sangat
melelahkan. Aku segera bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan
diri. Setelah mandi aku nonton tv di ruang keluarga, tetapi acara di tv sama
sekali tidak ada yang menarik. Akhirnya aku main game dilaptop agar pikiran
tidak terlalu jenuh dengan pelajaran. Tidak terasa lama juga aku bermain game,
karena jarum jam sudah menunjuk kan pukul 18.00, aku segera mengambil air wudhu
untuk sholat maghrib. Setelah sholat aku belajar hingga jam 20.00, namun aku
selalu saja belajar dengan menyalakan lagu dari handphone hingga aku pun
tertidur pulas hingga besok pagi.
Hari
ini aku datang lebih pagi namun saat aku datang hanya Arman yang baru
kelihatan, entah dimana Rafi yang jelas aku beruntung tidak datang terlambat.
Seni budaya adalah pelajaran yang menurut saya sangat unik dan mudah saya
kuasai karena kebetulan hobi ku menggambar. Tetapi materi kali ini adalah Seni
Tari yang kebetulan guru yang mengajar adalah guru PPL dari UNIVERSITAS NEGERI
MALANG. Ia menyuruh kita untuk membuat kelompok masing-masing minimal 6 orang.
“Fi
ikut kelompok ku ya!,” seru ku.
“Oke
deh.”
“Arman
juga, suruh ikut kelompok ku,” tambah ku.
“Iya,
Kecil.”
“Oke
lah, tinggal 3 anak lagi nih. Gimana?.”
“Riyan,
Alda, Almira itu loh Cil,” sahut Arman tiba-tiba.
“Oh
iya, tunggu aku tanya dulu.” Aku berjalan ke arah nama-nama yang disebutkan
Arman.
“Alda
kelompok nya siapa?.”
“Belum
ada Cil.”
“Sama
aku aja, Da.”
“Iya,
Cil terserah.” Aku segera menghampiri Riyan dan Almira yang kebetulan duduk
satu bangku.
“Kamu
udah dapet kelompok?.”
“Belum,
Cil.”
“Kelompok
ku aja ya, ada Alda, Rafi, Arman.”
“Iya
udah.” Lalu aku menghampiri Rafi dan Arman yang mengobrol di bangku pojok
depan.
“Tinggal
satu ini siapa lagi?,” tanya ku pada mereka.
“Terserah.”
“Boby
belum kayak nya.”
“Coba
tanya sana.”
“Bob,
kamu kelompok nya siapa,” teriak ku.
“Masih
belum Cil.”
“Kelompok
ku aja Bob, kurang satu ini.”
“Ya
udah.”
Setelah
kelompok lengkap 6 orang, aku segera menulis nama mereka lalu aku kumpulkan di
meja guru. Kami mencari sendiri gerakan dan lagu untuk tarian kami. Awalnya
kami bingung dan tidak tahu lagu apa yang akan dijadikan untuk tarian nanti,
setelah browsing di internet kami memutuskan untuk memakai lagu Sinanggar Tulo
yang berasal dari Batak. Saat itu kami latihan menarikan tarian kami di rumah
Alda, kami latian dengan santai dan tidak serius karena kekakuan tubuh kami
yang tidak terbiasa menari.
“Ayo
latihan,” ajak ku kepada mereka.
“Iya
ayo, nanti keburu sore,” jawab Arman.
“Oke,
aku putar lagunya ya tunggu.”
Kami
pun menarikan tarian kami, kami juga sudah hafal dengan gerakan yang kita susun
semaksimal mungkin. Setelah selesai latihan kami pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah aku segera mandi dan siap-siap belajar. Setelah kira-kira
beberapa menit belajar, aku merasa sangat lelah dan akhirnya tertidur.
Besoknya
saat di sekolah pelajaran seni budaya pada jam ke 1-2 kami semua murid 8a ke
aula sekolah karena akan ada praktek menari, masing-masing kelompok akan
menarikan tariannya di atas panggung namun hari ini belum penilaian akhir yang
akan diserahkan guru PPL kepada guru yang mengajar seni budaya ini. Di aula
Rafi dan aku berniat pura-pura cuek ke Arman, karena ekspresi wajah Arman saat kena
‘jail’ nya kita itu kocak banget.
“Fi,
kerjain Arman yuk!,” kata ku sambil tertawa pelan.
“Ayo
ayo!,” sahutt Rafi sambil tertawa juga.
“Ntar
kalau misalnya dia ngajakin kamu ngomong nggak usah didengerin.”
“Siap
bos!.”
Ketika
Arman bicara sesuatu ke Rafi, Rafi tidak merespon sama sekali apa yang
dikatakan Arman. Arman merasa aneh, lalu ia berjalan ke arah ku. Sekali lagi ia
juga mengajak ku bicara namun aku tidak merespon Arman. Ia semakin bingung dan
hanya diam. Diam-diam ia menceritakan kejadian ini pada salah satu guru PPL
perempuan yang bernama Bu Cicik namun kami bertiga biasa memanggilnya ‘budhe’.
Rafi dan aku heran bisa-bisanya Arman menceritakan hal yang menurut kita biasa
ini. Tiba-tiba bu Cicik memanggil kami berdua.
“Rafi,
Anita ke sini,” panggil bu Cicik.
“Ada
apa, Bu?.”
“Kalian
ini, kasihan itu Arman. Kenapa di cuekin?.”
“Lho
saya cuma bercanda, Bu.”
“Kalau
kalian sahabat bertiga ya sampai SMA gitu, sama-sama terus. Diusahain jangan
bertengkar.”
“Hahaha….
Iya Bu,” jawab ku.
“Ayo
minta maaf sama Arman.”
“Nanti
aja, Bu.”
“Ya
sudah.”
Saat
pelajaran seni budaya selesai, Rafi dan aku menyapa Arman. Kami meminta maaf
karena sudah ngerjain dia. Arman memaafkan kami, Rafi dan aku tertawa karena
telah berhasil ngerjain Arman.
Beberapa
hari kemudian, praktek menari segera di mulai. Kelompok ku mendapat giliran ke
dua, kami semua merasa gugup. Dan tibalah giliran kelompok ku untuk menampilkan
tarian yang sudah dipersiapkan selama 2 minggu dengan durasi 4 menit. Anggota
kelompok ku segera naik ke atas panggung.
“Gimana
nih? Takut salah semua,” keluh ku sebelum lagu diputarkan.
“Rileks,
Cil.”
“Bismillah
aja.”
“Oke!.”
Lagu telah diputar dan kami menarikan sebuah tarian yang sebisa mungkin kami
ingat.
Akhirnya
kelompok ku selesai menarikan tarian ini, kami merasa lega dan gugup itu mulai
mereda. Dari sekian kelompok yang menari di atas panggung, teman-teman ku
menarikan tariannya dengan baik dan kompak.
Hari
berganti bulan, saat itu di sekolah ada tugas dari guru untuk membuat kelompok.
Seperi biasa Rafi, Arman, dan aku selalu satu kelompok. Kami hanya bertiga
dalam kelompok kali ini. Sepulang sekolah kami mengerjakan tugas di rumah Rafi.
Namun tugas itu tidak selesai hari itu juga karena kami mengerjakan dengan
main-main dan bercanda bersama.
“Fi
jangan main terus! Tugas nih tugas!,” ucapku kemudian.
“Bentar
dong, lagi asik nih.”
“Keburu
sore ntar.”
“Iya
oke habis ini kita kerjain sedikit dulu.”
“Enteng
banget bilang sedikit, kalo ntar nggak nemuin gimana?.”
“Cerewet!
Pasti ketemu kok,” balas Rafi dengan tertawa. Namun kita hanya menemukan tugas
itu separuhnya dan kurang separuh lagi. Akhirnya Arman dan aku pulang ke rumah
masing-masing.
Besoknya
di sekolah. Rafi bilang kepada ku kalau Arman suka anak kelas kita yang namanya
Fitri, dan ternyata Fitri juga suka Arman. Namun kedekatan ku dengan Arman dulu
membuat Fitri jadi tidak enak kepada ku, aku yang tidak ada maksud begitu
merasa bersalah lalu aku putuskan untuk membantu Arman dekat dengan Fitri.
“Eciiiieee
Arman,” kata ku saat aku duduk di sampingnya.
“Ssssttt
jangan keras-keras!.”
“Hahaha…santai
aja kali.”
“Bantu
aku ya, Cil.”
“Bantu
apa coba?.”
“Bantu
buat dekatin Fitri.”
“Hahaha…iya
oke lah!.”
Hari
telah berlalu, kedekatan Arman dengan Fitri juga semakin melekat. Dan akhirnya
Arman menyatakan cintanya pda Fitri. Fitri benar-benar malu, wajahnya bersemu
merah. Arman menyatakan perasaannya ketika pulang sekolah.
“Fit,
kamu mau nggak jadi pacar aku?.”
“Ngomong
sama siapa?,” jawab Fitri dengan salah tingkah.
“Lho
Fit kok gitu? Serius dong.”
“Iya-iya.”
“Nyatain
lagi, Man!.”
“Kamu
mau nggak, Fit jadi pacar ku?,” ucap Arman gugup.
“Iya
aku mau, Man.”
“Yes!
Makasih ya, Fit.”
Sejak
saat itu aku juga tidak sedekat dulu dengan Arman, meskipun kami teman dekat
karena aku nggak mau kalau Fitri menjadi tidak enak pada ku lagi.
Beberapa
bulan kemudian, sekolah kami kedatangan seorang guru dari tempat bimbingan
belajar NEUTRON. Orang itu memberikan bimbingan gratis yang dilaksanakan selama
3 hari di tempat bimbingan itu. Ketika hari ke 2, aku tidak tahu pulang dari
sana dengan siapa karena selain uang aku habis aku tidak ada yang menjemput.
Dan hari itu aku melihat Rafi dan Arman membawa sepeda motor sendiri-sendiri.
Di kelas aku mengatakan kalau aku minta bareng.
“Man
bareng pulang ya?.”
“Tanya
Rafi aja.”
“Fi
bareng pulang.” Rafi tidak menjawab pertanyaan ku.
Aku
yang merasa malu karena sudah minta pulang bareng tapi tidak direspon
sedikitpun oleh mereka. Saat pulang mereka juga tidak berbicara pada ku, mengajak
ku pulang bareng saja enggak. Aku merasa sedih dan sakit hati, mereka tega
tidak mengajak ku pulang bareng padahal aku benar-benar nggak ada uang sama
sekali. Aku bingung dan tid`k tau pulang dengan siapa dan naik apa. Aku duduk
dan menunggu di depan tempat bimbingan belajar itu hingga jam 19.00, untung nya
di situ ada Almira dan Wela. Almira menawari ku untuk pulang bareng, aku merasa
tidak enak. Namun akhirnya aku mengiyakan ajakkan Almira.
Sampai
di rumah aku menangis, aku bingung, apa yang salah dari ku hingga mereka tidak
memperdulikan ku. Sakit hati karena teman dekat yang dari awal selalu bercanda
bersama-sama malah berubah drastis begini. Aku merenung dan tidak menyangka
semua ini bisa terjadi, mereka tega membiarkan ku pulang sendirian padahal
jarak rumah kami juga tidak terlalu jauh.
Besoknya
di sekolah, karena aku sangat jengkel dan marah pada mereka aku tidak menyapa
mereka. Sebaliknya, mereka juga tidak memperdulikan ku. Namun saat istirahat
Arman mengatakan sesuatu pada ku.
“Cil,
marah tah kamu?.”
“Ya
mesti, Man! Masak aku bareng nggak boleh?.”
“Maaf
Cil.”
“Maaf
doang?.” jawab ku tak mau langsung memaafkan.
“Lha
gimana, Cil?.”
“Lha
Rafi kok diem aja? Nggak minta maaf juga?.”
“Ya
nggak tau aku Cil.”
“Terserahmu
Man!.” Sejak saat itu Arman tidak pernah berbicara dengan ku, begitu juga
dengan Rafi.
Beberapa
bulan kemudian, hari medekati Idul Fitri mereka berdua minta maaf pada ku. Aku
yang sudah tidak jengkel pada mereka langsung saja memaafkan mereka. Kami
kembali seperti dulu, dengan tawa dan canda yang menghiasi setiap hari. Aku
bahagia karena memiliki teman yang lucu, dan baik seperti mereka walau
terkadang mereka sangat menjengkelkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar