Minggu, 28 Oktober 2012

Menurut Kalian?

SAHABAT SEGALANYA
 
Pagi yang cerah ini, hari pertama masuk kelas 8a terlihat canggung karena aku belum mengenal satu sama lain. Aku yang bernama Anita Yulianti kini sering dipanggil ‘kecil’ karena fisik ku yang memang bertubuh kecil. Namun setelah lewat beberapa hari aku sudah mengenal mereka terutama teman ku yang bernama Rafi dan Arman. Aku rasa mereka cocok banget buat jadi teman baik, karena menurut ku karakter mereka yang lucu dan terkadang bikin jengkel itu membuat ku tertarik untuk berteman dengan mereka. Kami selalu bertiga ketika sedang istirahat, bercanda ria bersama bahkan mereka berdua selalu minta traktir jajan di kantin. Tidak ketinggalan juga, teman yang paling kocak dan kadang bikin orang bingung sendiri dengerin omangan dia, namanya Dhani. Kadang kami bertiga juga bercanda dengan Dhani. Saat istirahat Aku, Rafi, dan Arman bernyanyi di depan kelas. Suara Rafi yang dibilang sih cukup keren menyanyikan syair lagu pertama.

“Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku saat ku harus bersabar dan trus bersabar menantikan kehadiran dirimu entah sampai kapan aku harus menunggu sesuatu yang sangat sulit tuk ku jalani hidup dalam kesendirian sepi tanpa mu kadang ku berpikir cari penggantimu saat kau jauh di sana,” dilanjutin syair yang ke dua hingga selesai versi kami bertiga. Ketika lagu yang kami nyanyikan sudah selesai aku sontak mengatakan ingin menyanyikan kembali bersama meraka.
“Nyanyi lagi dong, tanggung nih bel belum bunyi,” kata ku ketika mereka mengambil nafas karena lelah.
“Aduh capek tau, emang kamu kira nyanyi cuman lima detik gitu?,” sambung Arman sambil tertawa geli.
“Nggak asik nih,” jawab ku dengan muka cuek.
“Lanjutin aja! Kasian tuh, ntar nangis lagi,” kata Rafi yang dari tadi hanya diam. Rafi dan Arman menertawaan hal itu yang jelas-jelas munurut ku nggak lucu sama sekali!. Kami pun melanjutkan menyanyi.
Tidak terasa bel masuk berbunyi, kami masuk kelas dengan nafas ‘ngos-ngosan’ karena menyanyi tadi. Namun itu membuat ku menjadi mengantuk saat pelajaran terakhir akan dimulai. Pelajaran matematika, pelajaran yang bikin otak buntu dan nggak bisa dibayangin betapa sulitnya pelajaran ini. Akhirnya karena capek nyanyi dan ketawa tadi aku tertidur di atas meja. Ketika menerangkan pak guru tidak tahu kalau aku sedang tidur, namun gara-gara Rafi pak guru jadi tahu.
“Lho Cil, kok tidur?,” teriak Rafi dengan santainya. Aku pun terbangun dengan wajah yang sedikit kusut.
“Hah?,” jawab ku dengan santai karena aku masih belum tersadar sepenuhnya dari alam bawah sadar.
“Kok tidur? Pelajaran nih!,” sahut Arman tiba-tiba. Pak guru yang sedari tadi memerhatikan hati menggelengkan kepala sambil tertawa pelan.
“Ngantuk berat , Man,” jawab ku enteng. Arman tidak menjawab sepatah kata pun. Aku tidak tertidur lagi, hanya memandang papan tulis namun tidak pernah mengerti apa maksud angka-angka yang ditulis di papan.
Teeeetttt…..teeeettt…..teeeet….teeett, bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid dari kelas 7 sampai 9 berhamburan keluar sekolah. Aku yang tidak langsung pulang jalan ke kantin dulu beli makanan. Kira-kira 15 menit di kantin, aku pulang berdua dengan teman ku yang bernama Riyan naik mobil pribadi alias ‘angkutan umum’. Kami berpisah di perempatan Blimbing, karena jarak rumah kami sangat jauh.
Ketika sampai di rumah, aku ganti baju lalu menyalakan handphone dan akhirnya lagu yang aku cari kini berputar dengan angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela kamar ku. Lagu itu, lagu yang membuat ku ingat dengan kisah cinta ku dengan laki-laki yang selalu perhatian dan menjaga ku meskipun kami jauh. Namun masalah kecil yang membuat ku terpaksa memutuskannya, tetapi aku mulai sadar bahwa dialah orang yang tepat buat aku. Dalam hati ku berbicara sendiri.
“Kamu emang special di hati ku tapi kamu…..,”gerutuku dalam hati. Aku pun tertidur karena angin sepoi-sepoi tadi.
Jam 16.00 aku terbangun dari tidur ku, rasanya hari ini hari yang sangat melelahkan. Aku segera bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi aku nonton tv di ruang keluarga, tetapi acara di tv sama sekali tidak ada yang menarik. Akhirnya aku main game dilaptop agar pikiran tidak terlalu jenuh dengan pelajaran. Tidak terasa lama juga aku bermain game, karena jarum jam sudah menunjuk kan pukul 18.00, aku segera mengambil air wudhu untuk sholat maghrib. Setelah sholat aku belajar hingga jam 20.00, namun aku selalu saja belajar dengan menyalakan lagu dari handphone hingga aku pun tertidur pulas hingga besok pagi.
Hari ini aku datang lebih pagi namun saat aku datang hanya Arman yang baru kelihatan, entah dimana Rafi yang jelas aku beruntung tidak datang terlambat. Seni budaya adalah pelajaran yang menurut saya sangat unik dan mudah saya kuasai karena kebetulan hobi ku menggambar. Tetapi materi kali ini adalah Seni Tari yang kebetulan guru yang mengajar adalah guru PPL dari UNIVERSITAS NEGERI MALANG. Ia menyuruh kita untuk membuat kelompok masing-masing minimal 6 orang.
“Fi ikut kelompok ku ya!,” seru ku.
“Oke deh.”
“Arman juga, suruh ikut kelompok ku,” tambah ku.
“Iya, Kecil.”
“Oke lah, tinggal 3 anak lagi nih. Gimana?.”
“Riyan, Alda, Almira itu loh Cil,” sahut Arman tiba-tiba.
“Oh iya, tunggu aku tanya dulu.” Aku berjalan ke arah nama-nama yang disebutkan Arman.
“Alda kelompok nya siapa?.”
“Belum ada Cil.”
“Sama aku aja, Da.”
“Iya, Cil terserah.” Aku segera menghampiri Riyan dan Almira yang kebetulan duduk satu bangku.
“Kamu udah dapet kelompok?.”
“Belum, Cil.”
“Kelompok ku aja ya, ada Alda, Rafi, Arman.”
“Iya udah.” Lalu aku menghampiri Rafi dan Arman yang mengobrol di bangku pojok depan.
“Tinggal satu ini siapa lagi?,” tanya ku pada mereka.
“Terserah.”
“Boby belum kayak nya.”
“Coba tanya sana.”
“Bob, kamu kelompok nya siapa,” teriak ku.
“Masih belum Cil.”
“Kelompok ku aja Bob, kurang satu ini.”
“Ya udah.”
Setelah kelompok lengkap 6 orang, aku segera menulis nama mereka lalu aku kumpulkan di meja guru. Kami mencari sendiri gerakan dan lagu untuk tarian kami. Awalnya kami bingung dan tidak tahu lagu apa yang akan dijadikan untuk tarian nanti, setelah browsing di internet kami memutuskan untuk memakai lagu Sinanggar Tulo yang berasal dari Batak. Saat itu kami latihan menarikan tarian kami di rumah Alda, kami latian dengan santai dan tidak serius karena kekakuan tubuh kami yang tidak terbiasa menari.
“Ayo latihan,” ajak ku kepada mereka.
“Iya ayo, nanti keburu sore,” jawab Arman.
“Oke, aku putar lagunya ya tunggu.”
Kami pun menarikan tarian kami, kami juga sudah hafal dengan gerakan yang kita susun semaksimal mungkin. Setelah selesai latihan kami pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah aku segera mandi dan siap-siap belajar. Setelah kira-kira beberapa menit belajar, aku merasa sangat lelah dan akhirnya tertidur.
Besoknya saat di sekolah pelajaran seni budaya pada jam ke 1-2 kami semua murid 8a ke aula sekolah karena akan ada praktek menari, masing-masing kelompok akan menarikan tariannya di atas panggung namun hari ini belum penilaian akhir yang akan diserahkan guru PPL kepada guru yang mengajar seni budaya ini. Di aula Rafi dan aku berniat pura-pura cuek ke Arman, karena ekspresi wajah Arman saat kena ‘jail’ nya kita itu kocak banget.
“Fi, kerjain Arman yuk!,” kata ku sambil tertawa pelan.
“Ayo ayo!,” sahutt Rafi sambil tertawa juga.
“Ntar kalau misalnya dia ngajakin kamu ngomong nggak usah didengerin.”
“Siap bos!.”
Ketika Arman bicara sesuatu ke Rafi, Rafi tidak merespon sama sekali apa yang dikatakan Arman. Arman merasa aneh, lalu ia berjalan ke arah ku. Sekali lagi ia juga mengajak ku bicara namun aku tidak merespon Arman. Ia semakin bingung dan hanya diam. Diam-diam ia menceritakan kejadian ini pada salah satu guru PPL perempuan yang bernama Bu Cicik namun kami bertiga biasa memanggilnya ‘budhe’. Rafi dan aku heran bisa-bisanya Arman menceritakan hal yang menurut kita biasa ini. Tiba-tiba bu Cicik memanggil kami berdua.
“Rafi, Anita ke sini,” panggil bu Cicik.
“Ada apa, Bu?.”
“Kalian ini, kasihan itu Arman. Kenapa di cuekin?.”
“Lho saya cuma bercanda, Bu.”
“Kalau kalian sahabat bertiga ya sampai SMA gitu, sama-sama terus. Diusahain jangan bertengkar.”
“Hahaha…. Iya Bu,” jawab ku.
“Ayo minta maaf sama Arman.”
“Nanti aja, Bu.”
“Ya sudah.”
Saat pelajaran seni budaya selesai, Rafi dan aku menyapa Arman. Kami meminta maaf karena sudah ngerjain dia. Arman memaafkan kami, Rafi dan aku tertawa karena telah berhasil ngerjain Arman.
Beberapa hari kemudian, praktek menari segera di mulai. Kelompok ku mendapat giliran ke dua, kami semua merasa gugup. Dan tibalah giliran kelompok ku untuk menampilkan tarian yang sudah dipersiapkan selama 2 minggu dengan durasi 4 menit. Anggota kelompok ku segera naik ke atas panggung.
“Gimana nih? Takut salah semua,” keluh ku sebelum lagu diputarkan.
“Rileks, Cil.”
“Bismillah aja.”
“Oke!.” Lagu telah diputar dan kami menarikan sebuah tarian yang sebisa mungkin kami ingat.
Akhirnya kelompok ku selesai menarikan tarian ini, kami merasa lega dan gugup itu mulai mereda. Dari sekian kelompok yang menari di atas panggung, teman-teman ku menarikan tariannya dengan baik dan kompak.
Hari berganti bulan, saat itu di sekolah ada tugas dari guru untuk membuat kelompok. Seperi biasa Rafi, Arman, dan aku selalu satu kelompok. Kami hanya bertiga dalam kelompok kali ini. Sepulang sekolah kami mengerjakan tugas di rumah Rafi. Namun tugas itu tidak selesai hari itu juga karena kami mengerjakan dengan main-main dan bercanda bersama.
“Fi jangan main terus! Tugas nih tugas!,” ucapku kemudian.
“Bentar dong, lagi asik nih.”
“Keburu sore ntar.”
“Iya oke habis ini kita kerjain sedikit dulu.”
“Enteng banget bilang sedikit, kalo ntar nggak nemuin gimana?.”
“Cerewet! Pasti ketemu kok,” balas Rafi dengan tertawa. Namun kita hanya menemukan tugas itu separuhnya dan kurang separuh lagi. Akhirnya Arman dan aku pulang ke rumah masing-masing.
Besoknya di sekolah. Rafi bilang kepada ku kalau Arman suka anak kelas kita yang namanya Fitri, dan ternyata Fitri juga suka Arman. Namun kedekatan ku dengan Arman dulu membuat Fitri jadi tidak enak kepada ku, aku yang tidak ada maksud begitu merasa bersalah lalu aku putuskan untuk membantu Arman dekat dengan Fitri.
“Eciiiieee Arman,” kata ku saat aku duduk di sampingnya.
“Ssssttt jangan keras-keras!.”
“Hahaha…santai aja kali.”
“Bantu aku ya, Cil.”
“Bantu apa coba?.”
“Bantu buat dekatin Fitri.”
“Hahaha…iya oke lah!.”
Hari telah berlalu, kedekatan Arman dengan Fitri juga semakin melekat. Dan akhirnya Arman menyatakan cintanya pda Fitri. Fitri benar-benar malu, wajahnya bersemu merah. Arman menyatakan perasaannya ketika pulang sekolah.
“Fit, kamu mau nggak jadi pacar aku?.”
“Ngomong sama siapa?,” jawab Fitri dengan salah tingkah.
“Lho Fit kok gitu? Serius dong.”
“Iya-iya.”
“Nyatain lagi, Man!.”
“Kamu mau nggak, Fit jadi pacar ku?,” ucap Arman gugup.
“Iya aku mau, Man.”
“Yes! Makasih ya, Fit.”
Sejak saat itu aku juga tidak sedekat dulu dengan Arman, meskipun kami teman dekat karena aku nggak mau kalau Fitri menjadi tidak enak pada ku lagi.
Beberapa bulan kemudian, sekolah kami kedatangan seorang guru dari tempat bimbingan belajar NEUTRON. Orang itu memberikan bimbingan gratis yang dilaksanakan selama 3 hari di tempat bimbingan itu. Ketika hari ke 2, aku tidak tahu pulang dari sana dengan siapa karena selain uang aku habis aku tidak ada yang menjemput. Dan hari itu aku melihat Rafi dan Arman membawa sepeda motor sendiri-sendiri. Di kelas aku mengatakan kalau aku minta bareng.
“Man bareng pulang ya?.”
“Tanya Rafi aja.”
“Fi bareng pulang.” Rafi tidak menjawab pertanyaan ku.
Aku yang merasa malu karena sudah minta pulang bareng tapi tidak direspon sedikitpun oleh mereka. Saat pulang mereka juga tidak berbicara pada ku, mengajak ku pulang bareng saja enggak. Aku merasa sedih dan sakit hati, mereka tega tidak mengajak ku pulang bareng padahal aku benar-benar nggak ada uang sama sekali. Aku bingung dan tid`k tau pulang dengan siapa dan naik apa. Aku duduk dan menunggu di depan tempat bimbingan belajar itu hingga jam 19.00, untung nya di situ ada Almira dan Wela. Almira menawari ku untuk pulang bareng, aku merasa tidak enak. Namun akhirnya aku mengiyakan ajakkan Almira.
Sampai di rumah aku menangis, aku bingung, apa yang salah dari ku hingga mereka tidak memperdulikan ku. Sakit hati karena teman dekat yang dari awal selalu bercanda bersama-sama malah berubah drastis begini. Aku merenung dan tidak menyangka semua ini bisa terjadi, mereka tega membiarkan ku pulang sendirian padahal jarak rumah kami juga tidak terlalu jauh.
Besoknya di sekolah, karena aku sangat jengkel dan marah pada mereka aku tidak menyapa mereka. Sebaliknya, mereka juga tidak memperdulikan ku. Namun saat istirahat Arman mengatakan sesuatu pada ku.
“Cil, marah tah kamu?.”
“Ya mesti, Man! Masak aku bareng nggak boleh?.”
“Maaf Cil.”
“Maaf doang?.” jawab ku tak mau langsung memaafkan.
“Lha gimana, Cil?.”
“Lha Rafi kok diem aja? Nggak minta maaf juga?.”
“Ya nggak tau aku Cil.”
“Terserahmu Man!.” Sejak saat itu Arman tidak pernah berbicara dengan ku, begitu juga dengan Rafi.
Beberapa bulan kemudian, hari medekati Idul Fitri mereka berdua minta maaf pada ku. Aku yang sudah tidak jengkel pada mereka langsung saja memaafkan mereka. Kami kembali seperti dulu, dengan tawa dan canda yang menghiasi setiap hari. Aku bahagia karena memiliki teman yang lucu, dan baik seperti mereka walau terkadang mereka sangat menjengkelkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar