Kamis, 14 Februari 2013

Negeri 5 Menara ♥

Sinopsis Novel Negeri 5 Menara
Washington DC, Desember 2003, jam 16.00. Aku (Alif Fikri) terlalu bersemangat karena minggu depan Aku akan menjalankan tugas liputanku ke London untuk mewawancarai Tony Blair, Perdana Menteri Inggris dan menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Tak lama kemudian, aku menerima pesan Messenger dari “Batutah”, tak lain adalah Menara Keempat (Atang) yang sekarang berada di Kairo.Teringat kembali  keputusan setengah hati. Aku adalah seorang anak kampung Bayur, pinggir Danau Maninjo, Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat itu, aku baru saja lulus dari MTs. Dengan percaya diri, aku putuskan untuk melanjutkan ke SMA favorit Bukittinggi. Namun sayangnya, Amak tidak setuju dengan keputusanku itu. Amak menyuruhku untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah. Aku menentang Amak. Tetapi surat Pak Etek Gindo meluluhkan hatiku untuk masuk ke Pondok Madani di Ponorogo, Jawa Timur.Aku ditemani oleh Ayah berangkat menuju Jawa Timur dengan bus. Di perjalanan, terbayang bagaimana membosankannya belajar di pondok dengan ditemani oleh kyai-kyai yang sudah tua. Perjalanan ini berlangsung selama 3 hari. Pagi hari, kami sampai di Pondok Madani. Ismail sang panitia penerimaan siswa baru mengantarkan kami ke Asrama ‘Al Barq’ (yang artinya Petir). Sesaat itu pula aku mengenal Dulmajid dari Madura dan Raja dari Medan.


Hari pertama menjadi siswa PM, kami masuk kelas dan berkenalan dengan wali kelas kami, Ustad Salman. Ustad Salman mengucapkan kata sederhana “Man Jadda wa Jada”. “Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”, ya, itulah kata bak mantera yang membuat hatiku bergetar. Aku mulai mengenal teman sekelas, seperti : Atang dari Bandung, Said dari Surabaya dan Baso dari Sulawesi. Sehabis isya, semua murid berkumpul di aula untuk Pekan Perkenalan murid baru. Yang paling membekas di hatiku adalah nasihat-nasihat Kyai Rais, Sang Rennaissance Man.

Usai Pekan Perkenalan, kami kembali ke asrama dengan dipimpin oleh Kak Iskandar, ketua asrama kami. Sore menjelang Maghrib,  Aku, Raja, Atang, Dulmajid, Baso dan Said menuju koperasi. Lonceng tanda berkumpul di masjid Ja’mi sudah berbunyi. Kami terlambat 5 menit. Kami tertangkap oleh Rajab Sujai, Sang Kepala “Kismul Amni” yang aku beri gelar Tyson. Tyson memberi kami hukuman untuk menjadi Jasus. Masing-masing dari kami harus mendapati dua murid yang melanggar aturan dan menuliskan namanya.

Aku, Raja, Baso, Dulmajid, Atang, dan Said menjadi lebih dekat. Kami senang berkumpul di taman Menara Masjid Ja’mi menjelang Maghrib. Sebelumnya Aku mengagumi menara masjid di kampungku, menara kedua yang kukagumi yaitu menara Jam Gadang. Serta menara ketiga yang menakjubkan adalah Tugu Monas. Lama-lama murid PM memanggil kami “Sahibul Menara”. Disebut sebagai orang yang punya menara, Said mendapat ide untuk membuat kode. Said kami sebut Menara 1, Raja Menara 2, Aku Menara 3, Atang Menara 4, Dulmajid Menara 5 dan Baso Menara 6.

Aku baru saja menerima surat dari kawan karibku, Randai. Dia menuliskan kebanggaannya sebagai siswa SMA Bukittinggi dan itu membuat hatiku sesak. “Man Shabara Zhafira”- Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangankan menjadi Jasus atau karena surat dari Randai, semuanya tidak akan menggoyahkan tekad dan cita-citaku. Aku mulai menyukai guru-guru yang ada di PM. Seperti : Ustad Surur mengajar Sejarah Dunia, Ustad Faris yang mengajar mata pelajaran Al Qur’an dan Hadist, Ustad Jamil mengajar kaligrafi Arab, Ustad Badil mengajar mahfudzhat (kata-kata mutiara), dan Ustad Karim yang mengajar mata pelajaran favoritku, yaitu Bahasa Inggris. Setiap malam, Aku dan Baso bagai Simbiosis Mutualisme. Aku mengajari Baso Bahasa Inggris sedangkan Baso membantuku menghapal mahfudzhat Arab.

Aku memilih kegiatan jurnalistik dan sepak bola sebagai kegiatan di luar kelas. Hari ini ada pertandingan sepak bola antara Tim Guru melawan Kelas 6. Yang menjadi perhatianku adalah Kiai Rais, Sang Maradona hafal Qur’an. Kyai Rais mampu mencetak 1 gol indah, meskipun akhirnya Tim guru akhirnya kalah telak 3-1 dari Kelas 6. Aku mengganti cita-citaku dari Habibie menjadi Wartawan Tempo. Aku akan menghadapi ujian. Dan rencanaku menghadapi ujian malam ini adalah memperbanyak berdoa kepada Allah, sholat tahajud, serta Sahirul Lail (begadang dan bangun malam untuk belajar). Di bawah menara, Aku dan Sahibul menara mulai berimajinasi dengan awan-awan putih di langit. Kami melihat awan putih bagaikan peta dunia.

Kami punya waktu setengah bulan untuk liburan akhir semester. Tetapi Aku tidak  pulang ke kampung. Alhamdulillah, Atang mengajak Aku dan Baso ke Bandung. Di Bandung, kami mengisi ceramah agama di Unpad. Selang 3 hari sebelum PM masuk, Said menelpon untuk mengajak kami berlibur di Surabaya. Said mentraktir kami makan gulai kacang hijau serta membelikan tiket menontonTerminator di bioskop. Samudera Atlantik, Desember 2003. Penerbangan Washington DC-London dengan British Airways sungguh nyaman. Aku tertidur hampir 4 jam. Rasa kurma yang manis melempar ingatanku ketika kami naik kelas 6, kelas puncak di PM.

Pagi itu, Mbok Warsi menuangkan nasi untukku. Kami sangat senang karena naik ke kelas puncak rantai makanan. Kelas 6 memikul beban yang berat diantaranya mempersiapkan ‘Class Six Show’ dan akan menghadapi ujian maraton. Namun, itu tidak mengurangi rasa bangga kami menjadi siswa senior. Kami merayakannya dengan berpesta kurma. Said terpilih Dewan KP menjadi tukang sensor, jabatan yang pernah diduduki Tyson. Raja dan Baso menjadi Penggerak Bahasa pusat. Aku menjadi Penggerak Bahasa Asrama. Atang menjadi Dewan Kesenian Pusat. Dan Dulmajid menjadi Redaktur Majalah Syams.

Surat Randai yang masuk Universitas ITB membuatku sesak karena iri. Aku memerlukan waktu 4 tahun untuk mengemban ilmu di PM. Karena itu, Aku harus menunggu kira-kira 6 bulan lagi untuk mendaftar UMPTN di ITB. Hari ini, tiba-tiba Ustad Torik memanggilku, beliau menunjukku untuk menjadi Student Speaker yang akan berpidato di depan Mr McGregor, Dubes Inggris. Aku berhasil melakukannya dengan baik. Wejangan Kyai Rais memang ampuh, “Jangan berharap dunia akan berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah.”

PM akan mengadakan syukuran akbar. Syukuran ini diberi judul “Milad 70 Tahun PM”. Sebagai anggota jurnalistik, setiap hari kami harus menempel hasil redaksi  “Kilas 70”  di mading. Dan hari dimana Presiden datang sebagai tamu undangan, atas ide Ustad Salman, kami membuat kejutan berupa “Kilas 70 instant”. Sepuluh lembar hasil redaksi dan foto telah diserahkan kepada Presiden RI sebelum beliau turun dari panggung.

Hanya dua bulan waktu kami, kelas 6, mempersiapkan pertunjukan akbar “Class Six Show”. Class Six Show kami beri tema “Perjalanan Mengelilingi Dunia Dalam Semalam” yang mengisahkan perjalanan Ibnu Batutah selama 30 tahun. “Jam 7.30. it’s show time!” Penonton terkesima. Ketika pertunjukan ditutup, Kiai Rais memberi nilai “9” untuk hasil kerja keras kami selama dua bulan ini. Tiada henti, kami membicarakan Class Six Show kemarin, tak terkecuali masalah es kering yang harus kami beli di Surabaya tanpa ijin KP. Tak kusadari, Ustad Torik mendengar pembicaraan kami itu. Beliau memanggil Aku, Atang, dan Said ke Kantor KP dan mencukur rambut kami sampai botak sebagai hukuman. Kami bagaikan murid Shaolin yang menahan malu. Kami segera menemui Pak Narto, tukang cukur resmi PM, untuk membenahi rambut kami yang masih tidak rata. Atas ketangkasannya, aku menjuluki Pak Narto sebagai “Penjagal 3000 Kepala”.

Menjelang ujian maraton, Baso terlihat lesu. Ini sangat aneh. Di balik lemari kecilnya, Baso menceritakan keluh kesahnya pada Sahibul Menara. Ayah dan Ibu Baso sudah meninggal dan ia dibesarkan oleh  neneknya yang sekarang sedang sakit tua di Sulawesi. Untuk belajar di Jawa, Baso dibantu oleh Bapak Latimbang. Upaya menghafal Al Qur’an dilakukannya selama ini karena ia ingin kedua orang tuanya mendapat jubah kemuliaan di depan Allah nanti.  Baso memantapkan keputusannya untuk keluar dari PM. Hal ini dilakukannya agar ia dapat merawat neneknya dan mengikuti mimpinya menjadi seorang hafiz. Aku sangat kagum dengan Baso.

Keputusan Baso dan Surat dari Randai membuatku gelisah lagi. Aku ingin keluar dari PM untuk mendaftar UMPTN di ITB. Aku mengirim surat pada Amak dan Ayah mengenai perang batinku yang berkecamuk antara menamatkan sekolah di PM atau keluar sekarang juga. Amak sangat sedih. Namun akhirnya, kedatangan Ayah membuat hatiku mantap untuk menamatkan sekolah di PM apalagi ujian maraton tinggal tiga bulan lagi.

Sebulan lagi “ujian diatas ujian” akan diadakan. Semua murid kelas 6 menempati aula, kamp konsentrasi.  Kamp Konsentrasi adalah tempat belajar, tempat tidur dan tempat makan bagi kami. Hatiku mulai khawatir. Untungnya, Said memberi resep bagi kami, Sahibul Menara, ‘berjuang diatas rata-rata orang berjuang’. Ternyata resep itu sangat ampuh. Kami, Sahibul Menara, dinyatakan LULUS semua. Perjuangan selama 4 tahun terakhir ternyata tidak sia-sia.

London, Desember 2003. Aku bertemu Atang dan Raja. Kami melihat Menara granit yang menjulang tinggi di Trafalgar Square. Lima menara telah menjadi saksi perjalanan impian kami, Sahibul Menara. Dulu aku melihat awan sebagai benua Amerika, sekarang aku menjadi penelis/wartawan di Washington DC. Raja bersikeras awan itu berbentuk Eropa, sekarang bersama istrinya, Fatia, menjadi penegak agama di London. Atang percaya bahwa awan itu berbentuk benua Afrika, sekarang ia bekerja di Kairo. Baso melihat semua ini dalam konteks Asia, atas modal hapalan Al Qur’an di luar kepala, ia mendapat beasiswa untuk kuliah ke Mekah. Sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta Indonesia, dan sekarang mereka menjadi pengusaha batik di Pasar Ampel dan pendiri pondok di Surabaya. Semua impian kini menjadi kenyataan. Allah Maha Mendengar dan Pengabul Doa.

Sumber : http://cindyku-pret.blogspot.com/2012/09/sinopsis-novel-negeri-5-menara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar